Indonesiana: antara Sukhoi, Bakso Babi dan Ferari

Ketika Sukhoi  Superjet S 100 mengalami kecelakaan di Gunung Salak pertengahan 2012 lalu, banyak pihak yang merasa yakin bahwa masa depan Sukhoi di industri pesawat sipil telah tamat. Setidaknya pemesanan pesawat tersebut oleh beberapa maskapai penerbangan akan terganggu. Publik juga sudah pasti akan terusik dan merasa takut untuk menggunakan jasa pesawat tersebut. Nyatanya pemesanan pesawat tersebut terus dilakukan, dan maskapai pemesan juga merasa yakin dengan keamanan pesawat itu setelah ada penjelasan dari KNKT. Terlepas bahwa ini adalah human error atau bukan, mungkin maskapai ini berharap seiring dengan waktu memori publik akan kembali macet dan melupakan sejarah kelabu dari joyflight dari pesawat ini.

Masih di sekitar Jakarta, pada awal tahun baru 2013, bakso (oplosan) babi juga menjadi isu yang memukul industri bakso dan penjual bakso keliling di seantero Jakarta. Kali ini imbasnya sangat cepat dan mengenai pelaku ekonomi kecil seperti penjual bakso keliling dan industri bakso rumahan. Sampai-sampai Jokowi dan Ahok harus secara demonstratif jajan bakso untuk menggugah publik agar kembali jajan bakso.

Minggu lalu pun, publik kembali dikagetkan dengan Pak Dahlan Iskan yang mengalami kecelakaan rem blong dengan mobil ’Ferari’ a la Magetan yang kebetulan masih prototype. Dengan nilai jual sekitar Rp 1,5 milyar, tentu mobil ini diasumsikan mempunyai kelebihan dan kualitas yang setara dengan harga jualnya. Sudah pasti, kecelakaan ini juga akan membuat publik meragukan keamanan dari mobil super ini. Dan imbasnya masa depan pabrikasi dan penjualan ini menjadi dipertanyakan. Setidaknya hingga hari ini. Terlepas dari kontroversi otak-atik rem dan water pump tanpa seijin pabriknya, Pak Dahlan sendiri tetap menyatakan bahwa mobil itu akan terus diproduksi.

Dari tiga contoh kejadian tersebut, sikap publik secara umum bisa ditebak bahwa mereka akan berpikir seribu kali sebelum menggunakan jasa maskapai yang menggunakan pesawat Sukhoi tersebut, atau mereka bisa jadi akan mengurangi kebiasaan konsumsi bakso mereka, atau akan berulang kali mengkaji apabila hendak benar-benar membeli mobil ’Ferari’ seharga milyaran tersebut.

Lalu bagaimana Sukhoi, bakso (non) babi maupun ’Ferari’ ini bisa menggapai keberhasilan dalam menembus pasar? Jawaban singkatnya mereka sangat membutuhkan kekuatan marketing (dan media tentunya) serta ’berharap’ pada sang waktu dalam menghapus memori publik yang terbukti rapuh dan mudah termanipulasi. Mengapa marketing? Karena dengan strategi marketing yang tepat, sebuah barang yang bermutu atau bercitra jelek bisa menjadi begitu bernilai ketika berhasil melakukan penetrasi pasar. Sementara media berperan penting untuk terus merecoki publik dengan pemberitaan dan informasi yang sesuai dengan pesanan di belakangnya. Politik dan kekuasaan, misalnya, bisa menjadi faktor pendorong atau stimulan agar pasar bisa goyah. Peran Jokowi dan Ahok untuk meyakinkan publik bahwa kasus bakso babi hanyalah kasus minor tentu turut berpengaruh, walaupun media bisa menjadi aktor yang lebih kuat dalam mempengaruhi publik dan mengganggu pasar bakso. Di sisi lain, dimensi waktu adalah strategi bagaimana memanfaatkan momen di mana publik sedang ’lengah’ yang pada akhirnya kembali menerima produk tersebut.

Jadi di awal tahun 2013 ini kita akan nantikan, apakah Sukhoi, bakso dan ’Ferari’  ini bisa kembali memanfaatkan kekuatan marketing, media dan waktu mereka untuk menggoda pasar, dan pada akhirnya semua kembali pada karakteristik konsumen kita yang mudah-mudahan lebih kritis, cerdas dan teliti dalam membeli produk.

Ayo kritis dalam membeli… 🙂