Brasilia, Brazil (Antologi 1)

Awal Maret 2018, sebuah instruksi tertulis dari pimpinan pusat tergeletak di meja untuk bersiap mewakili institusi dalam sebuah pertemuan School of Public Administration dari 6 negara (Indonesia, Cina, India, Meksiko, Afrika Selatan, dan Brazil), yang berlangsung di Brasilia, Brazil. Rezeki memang tidak akan kemana, demikian pepatah bilang.

Brazil, sebagai sebuah negara destinasi perjalanan dinas tentulah sangat asing, khususnya bagi orang Indonesia, terutama karena alasan geografis yang luar biasa jauhnya di benua latin sana. Cuma orang iseng dan crazy rich saja barangkali yang mau jauh-jauh datang ke negri Samba ini. Walaupun demikian dalam dunia bola tentu Brazil super populer. Siapa yang tidak kenal Pele, Ronaldo, Ronaldinho, Coutinho atau Neymar, bintang lapangan dari Brazil yang mendunia. Lagi-lagi negara ini tetap terasa sangat asing sebagai sebuah destinasi.

Penerbangan internasional selalu menyenangkan, karena akan membawa kita ke pengalaman baru dalam menyaksikan dunia yang berbeda. Tapi penerbangan selama lebih dari 24 jam (tepatnya 32 jam) tentu luar biasa melelahkan, dari keberangkatan di Soekarno Hatta, transit di Dubai, lalu melanjutkan dengan pesawat ke Sao Paulo di bandara Aeroporto Internacional de São Paulo / Guarulhos (GRU), sebelum melanjutkan penerbangan sekitar satu jam dengan pesawat kecil ke kota Brasilia tepatnya di bandara Aeroporto Internacional de Brasília–Presidente Juscelino Kubitschek (BSB). 

Suasana selama perjalanan yang cukup asing juga terasa, khususnya di rute Dubai – Sao Paolo dan Sao Paolo – Brasilia, karena sangat jarang melihat orang Asia berkeliaran. Bahkan salah satu penumpang orang Brazil yang duduk di sebelah sampai bertanya, kamu orang Cina ya? bisa bahasa Inggris gak? hehe… muka alien… wajar lah.

Sayangnya memang kesempatan ke Brazil ii hanya untuk kegiatan pertemuan SPA’s 6 negara, yang dilakukan di Brasilia, sebuah ibukota yang cukup sepi, karena terletak jauh dari hiruk pikuk ekonomi dan urbanisasi di kota-kota besar seperti Rio de Janeiro atau Sao Paolo.

Dalam event di Brazil ini zerosugar ditunjuk menjadi salah satu koordinator untuk memimpin pembahasan topik yang dipilihkan, dan menyusun rencana kerja dengan partner dari Jerman dan Brazil. Suasana diskusi cukup santai dan tidak menguras energi. Make it fun pokoknya. We come up with ideas by engaging the participating countries to scaling up the agenda to the utmost we can do respectively.

Di luar tugas resmi, tentu di sela-sela kegiatan ada acara informal, seperti dinner, dinner dan dinner. Ya nampaknya kebanyakan gaya komunikasi internasional adalah undangan perjamuan makan, untuk memenuhi kebutuhan paling mendasar menurut Maslow, yaitu pangan. Tapi memang dalam ritual makan malam ini biasanya, terselip penghayatan kearifan lokal dan most important to get to know each other. Dalam suasana diskusi, perckapan sangat formal dan terukur dalam agenda yang sudah ditentukan. Dalam acara makan malam, yang terjadi adalah pembicaraan manusiawi, Dan saya rasa pembicaraan informal justru lebih berpengaruh dan menentukan, karena di sanalah orang mengenal kita secara orisinil.

Oke lah, kesulitan terbesar dalam setiap melaksanakan perjalanan dinas ke luar negeri bukanlah di bahasa. Walaupun penduduk Brazil tidak berbahasa Inggris, setidaknya mereka mengerti bahasa universal yaitu makanan. Di sinilah kesulitan terbesarnya, yaitu memastikan makanan kita, khususnya muslim, untuk mendapatkan makanan halal. Di negara dengan penduduk mayoritas beragama Katolik dan memiliki patung Yesus terbesar di dunia, tentu bukan pekerjaan mudah untuk mendapatkan makanan halal.

Untungnya saya punya partner satu kontingen yaitu Prof Eko Prasojo dari UI yang juga berburu makanan halal. Sebuah kehormatan untuk menempuh perjalanan panjang dengan beliau yang profilnya luar biasa. Bahkan dengan beliau pula sempat menjajal mall nya Brasilia, yang sebenernya sih masih kalah jauh dari mall di Jakarta. Honestly Indonesia adalah surganya mall, entah ini sebuah prestasi atau bukan.

Akhirnya, demikian cerita kecil tentang perjalanan ke Brazil. Sebuah pengalaman yang sangat berharga, di mana zerosugar merasa beruntung mendapatkan kesempatan ini. Perjalanan Brazil juga menyisakan banyak PR, salah satunya menindak lanjuti pekerjaan proposal advokasi SDGs yang kami sebut NY Proposal. Akan ditulis nanti di postingan berikutnya bagaimana zerosugar bisa menjejakkan kakinya di New York untuk mengikuti salah satu sidang PBB, sebagai perwakilan tim dari Indonesia.

*Tulisan ini seharusnya diposting di mid 2018, tetapi baru tergarap di akhir 2020. Better late than never sih. Ini juga akan menjadi rangkaian tulisan antologi refleksi 2017 – 2020 yang menorehkan banyak persitiwa penting, terutama terkait dengan perjalanan zerosugar.

A stereotyped world

Once I came across a video on Youtube telling me about stereotyping Australian, and what surprised me most, and I’ve never had any idea before were, that Australian was stereotyped “dumb”, “drunk”, and “racist”, those that never appear to my, at least, Australian friends I met somewhere else outside Australia. In fact I’ve never been in Australia, not even in a transit. The only amazed me about Australia (from internet so to speak), is probably the Opera Sydney house, where some of my friends arrogantly uploaded their pictures with it on social media. But recently I am a fan of reality show called “Australian border security” where the immigration officers have their stories told on TV/internet. Apart from those, I don’t give a crap.. 🙂

Let’s forget about this Oz stuff, I surfed the other typical stereotyping perspective on internet, and found many interesting facts, particularly when it comes to my homecountry, Indonesia, which is mostly stereotyped in similar way to those of other Asian countries. There are some exceptions, when the perspective comes from other nations, or particular individual. Hope you enjoyed what I have found.

s1

Screenshot of the video

Look what Australian think about Indonesia, and apparently they put “nasi goreng” in the first place. It’s a rather “civilized” anyway if you compare to what they think about other regions, e.g. Middle East and Africa which are quite harsh to me, war and famine? c’mon there must be something better and nice about them….

s2

This is what Americans think about us

 

Now, look what’s American think about us. Obama is a very quick eye-catching word, isn’t it, and it is exactly the word that explains Indonesia to common American’s minds. What about their own homeland? they said it’s awesome.. soo predictable, nothing else in this world would as awesome as them… they thought!!

s5

Something unthinkable, but nice

 

I found this picture from a web, and I didn’t read through the story, but the picture is actually interesting and talking itself. I like this one, not because my country is perceived a nice place for honeymoon, but the way they illustrate is so catchy, well done for a stereotyping job

s8

Alcoholic have a say

 

Frankly speaking, this is the worst stereotyping set I came across, not only because the drunk people have no brain (uppsss), but also the way the draw the map is so ugly, I would say…, but to be fair with them (the drunk), I think these stereotyping words are pretty much picturing the reality of some parts of this world.. too bad huh

s9

This is a kind of stereotyping by the ignorant, where they see the world from a very small window and narrow minded, steered by mainstream media, and never read a single book but drink alcoholic stuff.., everything is only for fun when you’re drunk, right guys?

Anyway, if you found your country stereotyped, my advice is, don’t take it seriously, nothing serious about it. There are a lot more pictures actually, but I don’t wanna comment on them, you can also find them easily on google. Those pictures’ copyrights belong to the original owner.. not me. I don’t make any money from those, just wanna share for fun 🙂

 

Dokter gigi di Inggris dan Indonesia sama mahalnya

Siapa sih yang gak pernah sakit gigi? mungkin hanya sedikit dari kita yang tidak pernah ketemu dokter gigi sekalipun sepanjang hidupnya, tidak terkecuali zerosugar. Pengalaman berobat ke dokter gigi di Indonesia (tentunya) dan di Inggris memberikan wawasan mengenai perbedaan yang cukup kentara, baik dari sisi pelayanan, harga yang harus dibayar maupun kualitas yang didapatkan. Berikut ini perbedaan yang teramati berdasarkan pengalaman pribadi.

Dari sisi pelayanan, dokter gigi di Inggris tidak bisa ditemui kapan saja sesuka hati, karena kita harus membuat appointment atau janji terlebih dahulu. Sebetulnya di Indonesia pun, sistem ini juga banyak dipakai, terutama untuk dokter yang nilai jualnya tinggi alias banyak pasiennya. Kalau masalah appointment bukan perbedaan mencolok, maka yang menarik adalah dokter gigi di Inggris tidak akan menanyakan anda mau tambal atau cabut, melainkan akan serta merta memeriksa seluruh kesehatan gigi kita dengan mendokumentasikannya satu persatu dalam rekam medis kita, lalu akan menentukan jadwal untuk penanganannya. Untuk penambalan satu gigi saja kita bisa bertemu dokter setidaknya tiga kali, belum termasuk pengecekan akhir dan penentuan jadwal untuk pemerikksaan ulang 6 bulan setelahnya. Padahal dii Indonesia, kita bisa datang ke dokter gigi dan by request  bilang, Dok, saya mau tambal gigi geraham saya yang sebelah kanan, titik. Penambalan dilakukan saat itu juga dan selesai. Perbedaan pelayanan kesehatan (secara umum) yang lebih kontras pernah diulas di sini.

Mengenai harga, pelayanan kesehatan di Indonesia relatif lebih murah dibandingkan dengan luar. Kenapa relatif? karena kalau dilihat dari kemampuan atau daya jangkau masyarakat, pada akhirnya sebenarnya sama-sama mahal. Selama tinggal di Inggris, zerosugar harus bolak balik ke dokter gigi karena banyak bolongnya. Berapa harga yang harus dibayar? karena tidak ditangguung asuransi, maka untuk pelayanan tambal gigi saja, zerosugar harus merogoh kocek sampai £70 atau sekitar Rp 1,3j. Cukup besar bukan? Bandingkan dengan pelayanan gigi di RS UIN Ciputat, misalnya, yang mematok harga sekitar Rp 250rb an. Itupun masih mahal untuk ukuran kocek kebanyakan orang Indonesia. Kesehatan memang mahal ya.

Sedangkan untuk kualitas, sejujurnya harus saya bilang kualitas dokter gigi kita tidak berbeda dengan mereka yang di Inggris. Peralatan maupun tingkat keahlian sepertinya sama saja. Tambalan gigi saya yang dibuat di Inggris toh rontok juga beberapa waktu kemudian, walaupun ada jaminan garansi untuk ditambal kembali.

Akhirnya, merawat gigi memang harus selalu kita lakukan dengan rajin. Kecuali anda memang siap dengan sakitnya yang luar biasa.

Stay healthy

Daftar Beasiswa Dalam dan Luar Negeri

383829_2190541212963_1058012107_n

Mahasiswa internasional di ICU Tokyo, 2003 – 2005

Gambar di atas adalah pose (kurang lebih) 10 tahun silam, semasa masih kuliah di Tokyo. Ini hanya sebagai bentuk motivasi bagi para pencari beasiswa. Berikut di bawah ini adalah beberapa link beasiswa (populer) untuk tujuan dalam dan luar negeri yang (biasanya) juga mencakup biaya hidup, asuransi dll.

  1. Jepang – Monbukagakusho
  2. Australia – Ausaid
  3. Amerika – Pestasi USAID
  4. Inggris – Chevening
  5. Belanda – Stuned
  6. Jerman – DAAD
  7. World Bank
  8. ADB – Japan Scholarship Program
  9. IDB Scholarship Programmes
  10. Beasiswa PPSDM
  11. Beasiswa LPDP
  12. Beasiswa DIKTI
  13. Beasiswa Kominfo
  14. Beasiswa Sampoerna Foundation
  15. Beasiswa Djarum

Beberapa negara seperti Finlandia, Swedia, Rusia, Jerman, dan Mesir membebaskan biaya kuliah 100%, yang berlaku juga untuk para pelajar internasional. Tetapi biaya hidup (living cost) tetap menjadi tanggungan pelajar. Jadi pastikan beasiswa yang anda pilih sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan anda.

Indonesiana: antara Sukhoi, Bakso Babi dan Ferari

Ketika Sukhoi  Superjet S 100 mengalami kecelakaan di Gunung Salak pertengahan 2012 lalu, banyak pihak yang merasa yakin bahwa masa depan Sukhoi di industri pesawat sipil telah tamat. Setidaknya pemesanan pesawat tersebut oleh beberapa maskapai penerbangan akan terganggu. Publik juga sudah pasti akan terusik dan merasa takut untuk menggunakan jasa pesawat tersebut. Nyatanya pemesanan pesawat tersebut terus dilakukan, dan maskapai pemesan juga merasa yakin dengan keamanan pesawat itu setelah ada penjelasan dari KNKT. Terlepas bahwa ini adalah human error atau bukan, mungkin maskapai ini berharap seiring dengan waktu memori publik akan kembali macet dan melupakan sejarah kelabu dari joyflight dari pesawat ini.

Masih di sekitar Jakarta, pada awal tahun baru 2013, bakso (oplosan) babi juga menjadi isu yang memukul industri bakso dan penjual bakso keliling di seantero Jakarta. Kali ini imbasnya sangat cepat dan mengenai pelaku ekonomi kecil seperti penjual bakso keliling dan industri bakso rumahan. Sampai-sampai Jokowi dan Ahok harus secara demonstratif jajan bakso untuk menggugah publik agar kembali jajan bakso.

Minggu lalu pun, publik kembali dikagetkan dengan Pak Dahlan Iskan yang mengalami kecelakaan rem blong dengan mobil ’Ferari’ a la Magetan yang kebetulan masih prototype. Dengan nilai jual sekitar Rp 1,5 milyar, tentu mobil ini diasumsikan mempunyai kelebihan dan kualitas yang setara dengan harga jualnya. Sudah pasti, kecelakaan ini juga akan membuat publik meragukan keamanan dari mobil super ini. Dan imbasnya masa depan pabrikasi dan penjualan ini menjadi dipertanyakan. Setidaknya hingga hari ini. Terlepas dari kontroversi otak-atik rem dan water pump tanpa seijin pabriknya, Pak Dahlan sendiri tetap menyatakan bahwa mobil itu akan terus diproduksi.

Dari tiga contoh kejadian tersebut, sikap publik secara umum bisa ditebak bahwa mereka akan berpikir seribu kali sebelum menggunakan jasa maskapai yang menggunakan pesawat Sukhoi tersebut, atau mereka bisa jadi akan mengurangi kebiasaan konsumsi bakso mereka, atau akan berulang kali mengkaji apabila hendak benar-benar membeli mobil ’Ferari’ seharga milyaran tersebut.

Lalu bagaimana Sukhoi, bakso (non) babi maupun ’Ferari’ ini bisa menggapai keberhasilan dalam menembus pasar? Jawaban singkatnya mereka sangat membutuhkan kekuatan marketing (dan media tentunya) serta ’berharap’ pada sang waktu dalam menghapus memori publik yang terbukti rapuh dan mudah termanipulasi. Mengapa marketing? Karena dengan strategi marketing yang tepat, sebuah barang yang bermutu atau bercitra jelek bisa menjadi begitu bernilai ketika berhasil melakukan penetrasi pasar. Sementara media berperan penting untuk terus merecoki publik dengan pemberitaan dan informasi yang sesuai dengan pesanan di belakangnya. Politik dan kekuasaan, misalnya, bisa menjadi faktor pendorong atau stimulan agar pasar bisa goyah. Peran Jokowi dan Ahok untuk meyakinkan publik bahwa kasus bakso babi hanyalah kasus minor tentu turut berpengaruh, walaupun media bisa menjadi aktor yang lebih kuat dalam mempengaruhi publik dan mengganggu pasar bakso. Di sisi lain, dimensi waktu adalah strategi bagaimana memanfaatkan momen di mana publik sedang ’lengah’ yang pada akhirnya kembali menerima produk tersebut.

Jadi di awal tahun 2013 ini kita akan nantikan, apakah Sukhoi, bakso dan ’Ferari’  ini bisa kembali memanfaatkan kekuatan marketing, media dan waktu mereka untuk menggoda pasar, dan pada akhirnya semua kembali pada karakteristik konsumen kita yang mudah-mudahan lebih kritis, cerdas dan teliti dalam membeli produk.

Ayo kritis dalam membeli… 🙂